Lebih nyamanya biasa dilakukan perjalanan mudik pada malam hari, agar kisaran subuh sudah bisa sampai kampung halaman di Surabaya dengan bekal sudah tidur 4~5 jam di dalam bis selama perjalanan.
Pernahkah terlintas ide dibenak anda, untuk inisiatif menerapkan mekanisme demokrasi di dlm bis, bersama segenap unsur penumpang untuk merundingkan berapa kecepatan bis yg ideal serta sopan santun nyopir jarak jauh ? Agar kesepakatanya bisa disampaikan sbg saran dan kritik ke bapak sopir penguasa bis, supaya menjalankan roda pemerintahan bisnya dengan kondusif, aman, nyaman sampai tujuan tanpa rasa was2 yng biasa dialami penumpang.
Ternyata jarang dilakukan siapapun. Bahkan belum ada, mungkin termasuk anda.
Biasanya saya lebih memilih naik bis yg bisa dipercaya keamanan dan kenyamananya.
Naiklah bis favorit atau bis langganan yg sudah tahu track rekordnya.
Untuk menyiasati hal tsb diatas harus punya taktiknya. Layaknya mengatur taktik sepakbola.
Naiklah dari perempatan jalan raya terdekat. Karena menuju terminal cukup jauh. Juga butuh tambahan biaya. Tukang bajaj dan tukang becak di simpang itu juga banyak yng sudah kenal.
Di simpang jalan itu, cegatlah setiap bis yg lewat karena pada mlm hari sulit membeda bis satu dengan yg lain. Mana bis favorit atau yng ugal2an.
Andai bis itu ke Surabaya bilang saja mau yng langsung Malang. Andai bis itu jurusan Malang bilang saja mau ke Banyuwangi, ketika tahu itu bukan bis favorit yng dimau.
Begitu seterusnya, sampai ketemu bis sesuai yng diharapkan.
Ahh..begitu gampang berbohong.
Tukang becak yg antri berderet menunggu rejeki disimpang empat itu ikutan membantu kesibukan saya, seolah memilih masa depan. Begitu terus berlangsung, terus berulang.
Hujan deras tiba tiba menyergap.
Tukang becak mempersilahkan saya berteduh didalam becaknya, sementara dia sendiri menngungsi dibecak sebelah bersama temannya. Tiba tiba si tukang becak nyeletuk :
Inilah hukuman bagi orang yg berbohong. Saya terkesiap dengan mulut seolah terkunci.
Tapi kalau mau meningkatkan taraf hidup, memang harus pinter pinter berbohong. . . . dia melanjutkan.
Kalau jujur2 saja nanti dapetnya bis yg brengsek lahir batin.
Ucapan tukang becak itu datar2 saja, tapi seolah fatwa yg tak terbantahkan.
Untungnya,
Tuhan sudah menghukum langsung dng bentuk hujan deras, jadi nanti di akhirat biasa lebih ringan. Demikian pikirku menghibur diri.
Saya betul betul menjadi bisu, sampai akhirnya bis favorit datang.
Tukang becak ikutan membantu ngangkat kardus dan rangsel saya serta berucap:
Selamat jalan Cak, semoga bisa istirahat didalam bis selama perjalanan.
Dlm hati juga berharap, mudah-2an kebohonganku sudah lunas dng hukuman siksaan hujan.
Semalaman dalam bis.... saya malah ndak bisa tidur sama sekali.
apa benar sudah lunas ?
Hidup jaman sekarang, membuat dosa tidak berasa sebagai dosa.
Berbuat bohong tidak berasa sebagai bohong
Ahhh....